Wednesday, July 23, 2014

CARA NAK BERJAYA DI SISI ALLAH

Surah al-Mu’minun (Orang Yang Beriman) : Ayat 1-11

Bismillahi al-Rahmani al-Rahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Mengasihani). 

23-1:  Sesungguhnya beruntunglah/berjayalah orang yang beriman. 
23-2:  (Iaitu) orang yang khusyuk dalam solatnya. 
23-3:  Dan orang yang menjauhkan diri daripada yang sia-sia. 
23-4:  Dan orang yang menunaikan zakat. 
23-5:  Dan orang yang menjaga kemaluannya. 
23-6:  Kecuali terhadap isterinya atau hambanya; maka tiadalah tercela.
23-7:  Sesiapa mencari selain yang demikian itu, maka merekalah orang yang melampaui batas. 
23-8:  Dan orang yang memelihara amanah dan janjinya. 
23-9:  Dan orang yang memelihara solatnya.
23-10: Mereka itulah yang akan mewarisi, 
23-11: Yang akan mewarisi syurga Firdaus.  Mereka kekal di dalamnya.


Inilah sebenar-benar kejayaan yang telah Allah gariskan sebagai panduan kita orang Islam yang beriman. Dan ini lah juga ciri-ciri mereka yang akan mewarisi syurga Firdausi yang sentiasa menjadi idaman kerana syurga ini syurga tertinggi. Marilah kita mengusahakan agar menjadi mukmin yang berjaya di sis Allah dan lupakan makna kejayaan di mata manusia.. Ingat, "SEMUA ORANG BERIMAN ITU ISLAM, TETAPI TIDAK SEMUA ORANG ISLAM ITU BERIMAN!" pilih lah nak yang mana....???

PERUMPAMAAN YANG BOLEH DITERIMA AKAL

assalamualaikum wrt...

kisah ini sangat menarik utk diceritakan, terutamanya ketika dalam tazkirah2 ringkas. perumpamaan yg baik dan dapat diterima akal akan lebih diingati dan dimanfaatkan oleh para pendengar.wAllahua'lam...

Seorang guru sedang bersemangat mengajarkan  sesuatu kepada murid-muridnya. Ia duduk menghadap murid-muridnya. Di tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada pemadam.Si guru berkata, "Saya punya permainan...Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada pemadam.

Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah "Kapur!", jika saya angkat pemadam ini, maka berserulah "Pemadam!"Murid muridnya pun mengerti dan mengikuti. Si guru berganti-gantian mengangkat antara kanan dan kiri tangannya, semakin lama semakin cepat. Beberapa saat kemudian sang guru kembali berkata, "Baik sekarang perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka berserulah "Pemadam!", jika saya angkat pemadam, maka katakanlah "Kapur!".

Dan diulangkan seperti tadi, tentu saja murid-murid tadi keliru dan kekok, dan sangat sukar untuk mengubahnya. Namun lambat laun, mereka sudah biasa dan tidak lagi kekok. Selang beberapa saat, permainan berhenti. Si guru tersenyum kepada murid-muridnya."Anak-anak, begitulah kita ummat Islam. Mulanya yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Kita begitu jelas membeZakannya.

Namun kemudian, musuh musuh kita memaksa kita dengan berbagai cara, untuk menukarkan sesuatu, dari yang haq menjadi bathil, dan sebaliknya."" Pertama kali mungkin akan sukar bagi kita menerima hal tersebut, tapi kerana terus diajar dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kalian terbiasa dengan hal itu. Dan mulai lah kalian dapat mengikutinya. Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti memutar belut dan menukar nilai dan etika.""Keluar berduaan, berkasih-kasihan tidak lagi sesuatu yang pelik, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yang lumrah, sex sebelum nikah menjadi suatu hiburan dan trend,materialistik kini menjadi suatu gaya hidup dan lain-lain.""Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disedari, anda sedikit demi sedikit menerimanya. Faham?" tanya Guru kepada
murid-muridnya. "Faham cikgu...""


Baik permainan kedua..." guru itu pun meneruskan, "Cikgu ada Al Qur'an, cikgu akan letakkannya di tengah karpet. Sekarang anda berdiri di luar karpet. Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur'an yang ada di tengah tanpa memijak karpet?"Murid-muridnya berfikir . Ada yang mencuba alternatif dengan menggunakan tongkat, dan lain-lain.

Akhirnya si Guru memberikan jalan keluar, digulungnya karpet, dan ia ambil Qur'an. Ia memenuhi syarat, tidak memijak karpet."Murid-murid, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya...Musuh-musuh Islam tidak akan memijak-mijak anda dengan terang-terang...Kerana tentu anda akan menolaknya mentah mentah. Orang biasapun tak akan rela kalau Islam dihina dihadapan mereka. Tapi mereka akan menggulung anda perlahan-lahan dari pinggir, sehingga anda tidak sedar.""Jika seseorang ingin membuat rumah yang kuat, maka dibina tapak yang kuat. Begitulah Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat."" Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau tapaknya dulu, tentu saja hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dulu, kerusi dipindahkan dulu, Almari dibuang dulu satu persatu, baru rumah dihancurkan...""Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kita. Ia tidak akan menghentam terang-terangan, tapi ia akan perlahan-lahan meletihkan anda.""Mulai dari perangai anda, cara hidup, pakaian dan lain-lain, sehingga meskipun anda muslim, tapi anda telah meninggalkan ajaran Islam dan mengikuti cara yang mereka... Dan itulah yang mereka inginkan."

"Ini semua adalah fenomena Ghazwul Fikri (perang pemikiran). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh musuh kita.."Kenapa mereka tidak berani terang-terang untuk memerangi kita cikgu?" tanya mereka"Sesungguhnya dahulu mereka terang-terang menyerang, misalnya Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tapi sekarang tidak lagi..apa lagi yg tercengang2 tu?? ayuh kita kejutkan umat Islam lain yg masih tertidur!!!

Sunday, July 20, 2014

KEBERANIAN


Dunia ini dipenuhi dengan bermacam cabaran dan dugaan sehingga tidak meninggalkan tempat sedikitpun untuk seorang pengecut. Setiap muslim dituntut tampil sebagai individu-individu yang penuh keberanian agar mampu melintasi dunia ini dan meraih kebahagiaan yang diimpikan. Oleh karena itu, Rasulullah Saw selalu berdoa dan memerintahkan umatnya untuk membaca doa berikut:

اللهم إني أعوذ بك من من العجز والكسل والجبن والهرم، وأعوذ بك من عذاب القبر، وأعوذ بك من فتنة المحيا والممات.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu daripada sifat lemah, malas, penakut dan tua. Aku juga berlindung kepada-Mu dari azab kubur, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian.”[1] 

Makna Keberanian dan Strategi Memperolehnya
Syeikh Abdurahman Habannakah berkata, “Keberanian yang terpuji adalah melangkah maju dengan cerdas kepada tempat berbahaya dengan tujuan mendapat kebaikan atau menolak keburukan. Keberanian bisa juga didefinisikan sebagai kekuatan di dalam jiwa yang mendorong untuk melangkah dengan cerdas ke tempat-tempat berbahaya agar mendapat kebaikan atau menolak keburukan meskipun tempat itu dipastikan atau dikhawatirkan dapat membinasakan dirinya.”[2]
Definisi di atas menjelaskan bahwa salah satu unsur keberanian adalah melakukan sesuatu dengan cerdas, artinya ia harus memikirkan apa yang akan dilakukannya serta membuat rancangan dan rencana sempurna sebelum terjun ke medan yang penuh bahaya. Seseorang yang melemparkan dirinya ke marabahaya tanpa pertimbangan dan rencana sempurna tidak berhak mendapatkan sebutan “berani” melainkan lebih patut dinilai “gila dan sembrono”. Syeikh Abdurahman berkata, “Orang yang bunuh diri melakukan perbuatan yang membinasakan dirinya, namun perbuatan itu tidak disebut sebuah keberanian. Perbuatan itu lebih patut disebut kegilaan, kurang akal, pengecut dan melarikan diri dari menghadapi kesulitan hidup. Perbuatan itu merupakan maju ke tempat berbahaya tanpa keuntungan yang hendak diperoleh. Berbeda dengan mengorbankan jiwa dengan cerdas untuk meninggikan kalimat Allah dan mengusir musuh-musuh Allah, ini adalah tingkatan keberanian yang paling tinggi. Sebab ia mengorbakan jiwanya, dan pengorbanan jiwa merupakan kemurahan hati yang tertinggi.”[3]
Strategi untuk memperoleh akhlak ini dapat dilakukan dengan antara lain:

Pertama: mengimani dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah Swt dengan qadha dan qadar-Nya. Keyakinan ini akan memberikan ketenangan hati meski seseorang menghadapi, bahkan tengah berada, di situasi yang paling menakutkan sekalipun. Sebab keimanannya berkata bahwa Allah Swt telah menentukan ajalnya; jika memang pada saat ini, maka ia tidak akan mampu melarikan diri. Dan jika ajalnya bukan pada saat ini, maka ia pasti selamat melalui kesulitan yang sangat besar ini. Seorang mukmin harus selalu berkata:

@è% `©9 !$uZu;ÅÁムžwÎ) $tB |=tFŸ2 ª!$# $uZs9 uqèd $uZ9s9öqtB 4 n?tãur «!$# È@ž2uqtGuŠù=sù šcqãZÏB÷sßJø9$# ÇÎÊÈ

“Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang Telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal."[4]

Kedua: membaca dan mengkaji kisah tokoh-tokoh pemberani seperti para sahabat Nabi Saw seumpama Khalid bin Al-Walid, Al-Bara bin Malik, Nu’man bin Al-Muqarrin dan lain-lain. Para ulama sahabat dan tabiin selalu menceritakan kepada anak-anak dan murid-murid mereka kisah-kisah peperangan yang dilakukan Rasulullah Saw dan para sahabatnya dengan seksama agar menumbuhkan jiwa-jiwa pemberani di diri anak-anak itu. Pengajaran kisah-kisah peperangan ini mereka jadikan pelajaran wajib yang menyamai pentingnya pelajaran membaca Al-Qur’an.

Ketiga: latihan praktik kepemimpinan dalam kelompok yang bertugas menghadapi suatu masalah sulit dan mencarikan jalan penyelesaiannya. Latihan ini dapat dilakukan di sekolah, rumah atau masyarakat bahkan di alam terbuka seperti hutan belantara dan pantai. Kita sering kali melihat di sejarah generasi sahabat bahwa sejak kecil mereka telah terlatih memanah, berkuda, menggunakan pedang dan tombak bahkan berenang. Namun latihan ini harus dibimbing oleh seorang pelatih berpengalaman dan direncanakan dengan sempurna agar berhasil melahirkan sifat keberanian bukan makin menumbuhkan sifat ketakutan di jiwa murid-murid itu.

Akhlak Rasulullah Saw dan Para Sahabat
Rasulullah Saw merupakan orang yang paling pemberani sebab keimanan beliau tentang qadha dan qadar berada di tingkat yang paling tinggi. Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Setiap kali peperangan berkecamuk dan situasi mulai menakutkan, kami semua berlindung di belakang Nabi Saw. Tidak ada orang yang lebih dekat dengan musuh daripada beliau.”[5]  Anas bin Malik berkata, “Rasulullah Saw adalah manusia yang paling tampan, paling pemberani dan paling pemurah. Suatu malam penduduk Madinah dikejutkan oleh sebuah suara (yang menakutkan), Rasulullah segera keluar mendahului mereka untuk melihatnya.”[6]
Pada perang Hunain, pasukan kaum muslimin secara tiba-tiba dihujani anak panah dari berbagai arah sehingga mereka berlarian meninggalkan medan perang. Namun Nabi Saw tidak gentar, bahkan andai Abu Sufyan bin Al-Harits tidak menahan tali keledainya, beliau akan maju sendirian menghadapi ribuan musuh yang berada di depannya. Al-Bara bin Azib ditanya, “Apakah kalian melarikan diri pada perang Hunain?” Ia menjawab, “Akan tetapi Nabi Saw tidak melarikan diri. Abu Sufyan bin Al-Harits memegang tali keledai Nabi Saw, dan beliau pada saat itu bersabda, “Aku Nabi bukan pendusta. Aku anak Abdul muthalib.”[7]
Akhlak Nabi Saw ini sangat berkesan di hati para sahabatnya sehingga mereka berubah menjadi manusia-manusia yang penuh dengan keberanian dan berhasil mengalahkan kerajaan Romawi dan Persia meski hanya dilengkapi persenjataan yang sangat sederhana Berikut salah satu potret heroistik yang ditampilkan pasukan mujahidin pada perang Persia. Pada saat itu, pasukan Persia berada di titik terakhir pertahanan mereka di Nahawand. Pertempuran ini  telah menjadi pertempuran hidup mati antara kekaisaran Persia dengan mujahidin Islam. Yezdager, Kaisar Persia, mengumpulkan semua kekuatan Persia yang ada di Sind, Khurasan dan Hulwan untuk bergerak ke Nahwand dan membentuk pertahanan terakhir mereka. Akibatnya terkumpul sekitar 150.000 tentara Persia dengan peralatan perang lengkap untuk menghadapi 30.000 mujahidin yang bahkan tak beralas kaki.
Untuk menghadapi pasukan yang tiga kali lipat lebih besar dari pasukan muslim ini, Khalifah Umar bin Khatab berniat menunjuk Nu’man bin Muqarrin sebagai pemegang komando tertinggi pasukan Islam. Ketika bertemu dengannya setelah shalat berjamaah, Umar berkata kepada Nu’man, “Saya ingin mengutusmu untuk sebuah misi.” Nu’man segera menjawab, “Jika untuk mengumpulkan pajak, aku menolak. Namun jika untuk jihad fi sabilillah, saya siap.” Sungguh tepat pilihan Umar ini. Nu’man memang sangat berpotensi menjadi penakluk Nahawand. Jiwa jihadnya telah menjalar ke seluruh sendi-sendi tubuhnya, bahkan telah masuk ke tulang-belulangnya. Logikanya terbalik dari logika sebagian besar umat Islam saat ini yang lebih suka duduk di belakang meja sambil memegang pena untuk mengurus urusan-urusan yang tidak penting. Kalaupun penting, itu karena ia yang membuatnya terlihat penting.
Sekarang Nu’man sedang berdiri di depan pasukannya. Ia bertakbir. Setiap tentara mujahidin segera berwudhu dan bersiap-siap masuk ke pertempuran persis seperti ketika mereka hendak shalat berjamaah. Ia bertakbir sekali lagi. Setiap pasukan mengambil senjatanya. Nu’man lalu berdoa dan diamini pasukannya. Ia berkata, “Ya Allah, bela agama-Mu, tolong hamba-Mu dan jadikan Nu’man orang pertama yang menjadi syahid. Ya Allah, bahagiakan kami pada hari ini dengan kemenangan. Ucapkan, amin wahai saudara-saudara.” Semua orang yang hadir di saat itu menangis. Mereka menangis karena mereka tahu komandan mereka ini doanya selalu dikabulkan. Mereka menangis karena mereka tahu bahwa ini akan menjadi saat-saat terakhir mereka melihat pemimpin besar ini.
Terbukti, doa Nu’man memang mustajab. Pasukan muslimin berhasil mematahkan kekuatan Persia yang jumlahnya tiga kali lipat dari jumlah mereka. Pasukan Persia kucar kacir, dan komandannya melarikan diri. Sangat kontras dengan komandan Islami yang malah meminta untuk mati syahid. Di akhir pertempuran, Ma’qil bin Yasar melihat Nu’man bin Muqarrin tergeletak di tengah medan pertempuran dengan luka memenuhi seluruh tubuhnya dan debu menutupi wajahnya. Ma’qil mengusap debu dari wajah komandan tercinta ini. Nu’man membuka mata dan berkata dengan suara lemah, “Kamu siapa?” Ma’qil menjawab, “Saya Ma’qil bin Yasar.” Nu’man berkata lagi, “Bagaimana kondisi pasukan kita?” Ma’qil menjawab, “Allah telah memberikan kemenangan kepada mereka.” Nu’man berkata, “Alhamdulillah, beritahukan khalifah Umar.” Setelah itu Nu’man menghembuskan nafasnya yang terakhir.[8]




[1] Hadits riwayat Al-Bukhari.
[2] “Al-Akhlak Al-Islamiyah wa Ususuha” 2/586.
[3] “Al-Akhlak Al-Islamiyah wa Ususuha” 2/586.
[4] Qs. Al-Taubah: 51.
[5] Hadits riwayat Abu Syeikh di “Akhlaq Al-Nabi”. Al-Iraqi berkata, “Sanadnya sahih. Muslim meriwayatkan hadits yang mirip dengannya dari Al-Bara.”
[6] Hadits riwayat Al-Bukhari.
[7] Hadits riwayat Al-Bukhari.
[8] Disarikan dari buku “Nahawand” Dr Syauqi Abu Khalil.