Sunday, July 20, 2014

KEBERANIAN


Dunia ini dipenuhi dengan bermacam cabaran dan dugaan sehingga tidak meninggalkan tempat sedikitpun untuk seorang pengecut. Setiap muslim dituntut tampil sebagai individu-individu yang penuh keberanian agar mampu melintasi dunia ini dan meraih kebahagiaan yang diimpikan. Oleh karena itu, Rasulullah Saw selalu berdoa dan memerintahkan umatnya untuk membaca doa berikut:

اللهم إني أعوذ بك من من العجز والكسل والجبن والهرم، وأعوذ بك من عذاب القبر، وأعوذ بك من فتنة المحيا والممات.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu daripada sifat lemah, malas, penakut dan tua. Aku juga berlindung kepada-Mu dari azab kubur, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian.”[1] 

Makna Keberanian dan Strategi Memperolehnya
Syeikh Abdurahman Habannakah berkata, “Keberanian yang terpuji adalah melangkah maju dengan cerdas kepada tempat berbahaya dengan tujuan mendapat kebaikan atau menolak keburukan. Keberanian bisa juga didefinisikan sebagai kekuatan di dalam jiwa yang mendorong untuk melangkah dengan cerdas ke tempat-tempat berbahaya agar mendapat kebaikan atau menolak keburukan meskipun tempat itu dipastikan atau dikhawatirkan dapat membinasakan dirinya.”[2]
Definisi di atas menjelaskan bahwa salah satu unsur keberanian adalah melakukan sesuatu dengan cerdas, artinya ia harus memikirkan apa yang akan dilakukannya serta membuat rancangan dan rencana sempurna sebelum terjun ke medan yang penuh bahaya. Seseorang yang melemparkan dirinya ke marabahaya tanpa pertimbangan dan rencana sempurna tidak berhak mendapatkan sebutan “berani” melainkan lebih patut dinilai “gila dan sembrono”. Syeikh Abdurahman berkata, “Orang yang bunuh diri melakukan perbuatan yang membinasakan dirinya, namun perbuatan itu tidak disebut sebuah keberanian. Perbuatan itu lebih patut disebut kegilaan, kurang akal, pengecut dan melarikan diri dari menghadapi kesulitan hidup. Perbuatan itu merupakan maju ke tempat berbahaya tanpa keuntungan yang hendak diperoleh. Berbeda dengan mengorbankan jiwa dengan cerdas untuk meninggikan kalimat Allah dan mengusir musuh-musuh Allah, ini adalah tingkatan keberanian yang paling tinggi. Sebab ia mengorbakan jiwanya, dan pengorbanan jiwa merupakan kemurahan hati yang tertinggi.”[3]
Strategi untuk memperoleh akhlak ini dapat dilakukan dengan antara lain:

Pertama: mengimani dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah Swt dengan qadha dan qadar-Nya. Keyakinan ini akan memberikan ketenangan hati meski seseorang menghadapi, bahkan tengah berada, di situasi yang paling menakutkan sekalipun. Sebab keimanannya berkata bahwa Allah Swt telah menentukan ajalnya; jika memang pada saat ini, maka ia tidak akan mampu melarikan diri. Dan jika ajalnya bukan pada saat ini, maka ia pasti selamat melalui kesulitan yang sangat besar ini. Seorang mukmin harus selalu berkata:

@è% `©9 !$uZu;ÅÁムžwÎ) $tB |=tFŸ2 ª!$# $uZs9 uqèd $uZ9s9öqtB 4 n?tãur «!$# È@ž2uqtGuŠù=sù šcqãZÏB÷sßJø9$# ÇÎÊÈ

“Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang Telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal."[4]

Kedua: membaca dan mengkaji kisah tokoh-tokoh pemberani seperti para sahabat Nabi Saw seumpama Khalid bin Al-Walid, Al-Bara bin Malik, Nu’man bin Al-Muqarrin dan lain-lain. Para ulama sahabat dan tabiin selalu menceritakan kepada anak-anak dan murid-murid mereka kisah-kisah peperangan yang dilakukan Rasulullah Saw dan para sahabatnya dengan seksama agar menumbuhkan jiwa-jiwa pemberani di diri anak-anak itu. Pengajaran kisah-kisah peperangan ini mereka jadikan pelajaran wajib yang menyamai pentingnya pelajaran membaca Al-Qur’an.

Ketiga: latihan praktik kepemimpinan dalam kelompok yang bertugas menghadapi suatu masalah sulit dan mencarikan jalan penyelesaiannya. Latihan ini dapat dilakukan di sekolah, rumah atau masyarakat bahkan di alam terbuka seperti hutan belantara dan pantai. Kita sering kali melihat di sejarah generasi sahabat bahwa sejak kecil mereka telah terlatih memanah, berkuda, menggunakan pedang dan tombak bahkan berenang. Namun latihan ini harus dibimbing oleh seorang pelatih berpengalaman dan direncanakan dengan sempurna agar berhasil melahirkan sifat keberanian bukan makin menumbuhkan sifat ketakutan di jiwa murid-murid itu.

Akhlak Rasulullah Saw dan Para Sahabat
Rasulullah Saw merupakan orang yang paling pemberani sebab keimanan beliau tentang qadha dan qadar berada di tingkat yang paling tinggi. Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Setiap kali peperangan berkecamuk dan situasi mulai menakutkan, kami semua berlindung di belakang Nabi Saw. Tidak ada orang yang lebih dekat dengan musuh daripada beliau.”[5]  Anas bin Malik berkata, “Rasulullah Saw adalah manusia yang paling tampan, paling pemberani dan paling pemurah. Suatu malam penduduk Madinah dikejutkan oleh sebuah suara (yang menakutkan), Rasulullah segera keluar mendahului mereka untuk melihatnya.”[6]
Pada perang Hunain, pasukan kaum muslimin secara tiba-tiba dihujani anak panah dari berbagai arah sehingga mereka berlarian meninggalkan medan perang. Namun Nabi Saw tidak gentar, bahkan andai Abu Sufyan bin Al-Harits tidak menahan tali keledainya, beliau akan maju sendirian menghadapi ribuan musuh yang berada di depannya. Al-Bara bin Azib ditanya, “Apakah kalian melarikan diri pada perang Hunain?” Ia menjawab, “Akan tetapi Nabi Saw tidak melarikan diri. Abu Sufyan bin Al-Harits memegang tali keledai Nabi Saw, dan beliau pada saat itu bersabda, “Aku Nabi bukan pendusta. Aku anak Abdul muthalib.”[7]
Akhlak Nabi Saw ini sangat berkesan di hati para sahabatnya sehingga mereka berubah menjadi manusia-manusia yang penuh dengan keberanian dan berhasil mengalahkan kerajaan Romawi dan Persia meski hanya dilengkapi persenjataan yang sangat sederhana Berikut salah satu potret heroistik yang ditampilkan pasukan mujahidin pada perang Persia. Pada saat itu, pasukan Persia berada di titik terakhir pertahanan mereka di Nahawand. Pertempuran ini  telah menjadi pertempuran hidup mati antara kekaisaran Persia dengan mujahidin Islam. Yezdager, Kaisar Persia, mengumpulkan semua kekuatan Persia yang ada di Sind, Khurasan dan Hulwan untuk bergerak ke Nahwand dan membentuk pertahanan terakhir mereka. Akibatnya terkumpul sekitar 150.000 tentara Persia dengan peralatan perang lengkap untuk menghadapi 30.000 mujahidin yang bahkan tak beralas kaki.
Untuk menghadapi pasukan yang tiga kali lipat lebih besar dari pasukan muslim ini, Khalifah Umar bin Khatab berniat menunjuk Nu’man bin Muqarrin sebagai pemegang komando tertinggi pasukan Islam. Ketika bertemu dengannya setelah shalat berjamaah, Umar berkata kepada Nu’man, “Saya ingin mengutusmu untuk sebuah misi.” Nu’man segera menjawab, “Jika untuk mengumpulkan pajak, aku menolak. Namun jika untuk jihad fi sabilillah, saya siap.” Sungguh tepat pilihan Umar ini. Nu’man memang sangat berpotensi menjadi penakluk Nahawand. Jiwa jihadnya telah menjalar ke seluruh sendi-sendi tubuhnya, bahkan telah masuk ke tulang-belulangnya. Logikanya terbalik dari logika sebagian besar umat Islam saat ini yang lebih suka duduk di belakang meja sambil memegang pena untuk mengurus urusan-urusan yang tidak penting. Kalaupun penting, itu karena ia yang membuatnya terlihat penting.
Sekarang Nu’man sedang berdiri di depan pasukannya. Ia bertakbir. Setiap tentara mujahidin segera berwudhu dan bersiap-siap masuk ke pertempuran persis seperti ketika mereka hendak shalat berjamaah. Ia bertakbir sekali lagi. Setiap pasukan mengambil senjatanya. Nu’man lalu berdoa dan diamini pasukannya. Ia berkata, “Ya Allah, bela agama-Mu, tolong hamba-Mu dan jadikan Nu’man orang pertama yang menjadi syahid. Ya Allah, bahagiakan kami pada hari ini dengan kemenangan. Ucapkan, amin wahai saudara-saudara.” Semua orang yang hadir di saat itu menangis. Mereka menangis karena mereka tahu komandan mereka ini doanya selalu dikabulkan. Mereka menangis karena mereka tahu bahwa ini akan menjadi saat-saat terakhir mereka melihat pemimpin besar ini.
Terbukti, doa Nu’man memang mustajab. Pasukan muslimin berhasil mematahkan kekuatan Persia yang jumlahnya tiga kali lipat dari jumlah mereka. Pasukan Persia kucar kacir, dan komandannya melarikan diri. Sangat kontras dengan komandan Islami yang malah meminta untuk mati syahid. Di akhir pertempuran, Ma’qil bin Yasar melihat Nu’man bin Muqarrin tergeletak di tengah medan pertempuran dengan luka memenuhi seluruh tubuhnya dan debu menutupi wajahnya. Ma’qil mengusap debu dari wajah komandan tercinta ini. Nu’man membuka mata dan berkata dengan suara lemah, “Kamu siapa?” Ma’qil menjawab, “Saya Ma’qil bin Yasar.” Nu’man berkata lagi, “Bagaimana kondisi pasukan kita?” Ma’qil menjawab, “Allah telah memberikan kemenangan kepada mereka.” Nu’man berkata, “Alhamdulillah, beritahukan khalifah Umar.” Setelah itu Nu’man menghembuskan nafasnya yang terakhir.[8]




[1] Hadits riwayat Al-Bukhari.
[2] “Al-Akhlak Al-Islamiyah wa Ususuha” 2/586.
[3] “Al-Akhlak Al-Islamiyah wa Ususuha” 2/586.
[4] Qs. Al-Taubah: 51.
[5] Hadits riwayat Abu Syeikh di “Akhlaq Al-Nabi”. Al-Iraqi berkata, “Sanadnya sahih. Muslim meriwayatkan hadits yang mirip dengannya dari Al-Bara.”
[6] Hadits riwayat Al-Bukhari.
[7] Hadits riwayat Al-Bukhari.
[8] Disarikan dari buku “Nahawand” Dr Syauqi Abu Khalil.

No comments:

Post a Comment