Dunia
ini dipenuhi dengan bermacam cabaran dan dugaan sehingga tidak meninggalkan
tempat sedikitpun untuk seorang pengecut. Setiap muslim dituntut tampil sebagai
individu-individu yang penuh keberanian agar mampu melintasi dunia ini dan
meraih kebahagiaan yang diimpikan. Oleh karena itu, Rasulullah Saw selalu
berdoa dan memerintahkan umatnya untuk membaca doa berikut:
اللهم إني أعوذ بك من من العجز والكسل والجبن والهرم، وأعوذ بك من عذاب
القبر، وأعوذ بك من فتنة المحيا والممات.
“Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu daripada sifat lemah, malas, penakut dan
tua. Aku juga berlindung kepada-Mu dari azab kubur, dan aku berlindung
kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian.”[1]
Makna
Keberanian dan Strategi Memperolehnya
Syeikh
Abdurahman Habannakah berkata, “Keberanian yang terpuji adalah melangkah maju
dengan cerdas kepada tempat berbahaya dengan tujuan mendapat kebaikan atau
menolak keburukan. Keberanian bisa juga didefinisikan sebagai kekuatan di dalam
jiwa yang mendorong untuk melangkah dengan cerdas ke tempat-tempat berbahaya
agar mendapat kebaikan atau menolak keburukan meskipun tempat itu dipastikan
atau dikhawatirkan dapat membinasakan dirinya.”[2]
Definisi
di atas menjelaskan bahwa salah satu unsur keberanian adalah melakukan sesuatu
dengan cerdas, artinya ia harus memikirkan apa yang akan dilakukannya serta
membuat rancangan dan rencana sempurna sebelum terjun ke medan yang penuh
bahaya. Seseorang yang melemparkan dirinya ke marabahaya tanpa pertimbangan dan
rencana sempurna tidak berhak mendapatkan sebutan “berani” melainkan lebih
patut dinilai “gila dan sembrono”. Syeikh Abdurahman berkata, “Orang yang bunuh
diri melakukan perbuatan yang membinasakan dirinya, namun perbuatan itu tidak
disebut sebuah keberanian. Perbuatan itu lebih patut disebut kegilaan, kurang
akal, pengecut dan melarikan diri dari menghadapi kesulitan hidup. Perbuatan
itu merupakan maju ke tempat berbahaya tanpa keuntungan yang hendak diperoleh.
Berbeda dengan mengorbankan jiwa dengan cerdas untuk meninggikan kalimat Allah
dan mengusir musuh-musuh Allah, ini adalah tingkatan keberanian yang paling
tinggi. Sebab ia mengorbakan jiwanya, dan pengorbanan jiwa merupakan kemurahan
hati yang tertinggi.”[3]
Strategi
untuk memperoleh akhlak ini dapat dilakukan dengan antara lain:
Pertama:
mengimani dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah
Swt dengan qadha dan qadar-Nya. Keyakinan ini akan memberikan ketenangan hati
meski seseorang menghadapi, bahkan tengah berada, di situasi yang paling
menakutkan sekalipun. Sebab keimanannya berkata bahwa Allah Swt telah
menentukan ajalnya; jika memang pada saat ini, maka ia tidak akan mampu
melarikan diri. Dan jika ajalnya bukan pada saat ini, maka ia pasti selamat
melalui kesulitan yang sangat besar ini. Seorang mukmin harus selalu berkata:
@è% `©9
!$uZu;ÅÁã wÎ)
$tB |=tF2
ª!$#
$uZs9 uqèd
$uZ9s9öqtB
4
n?tãur
«!$#
È@2uqtGuù=sù cqãZÏB÷sßJø9$# ÇÎÊÈ
“Katakanlah:
"Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang Telah ditetapkan
Allah untuk kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang
yang beriman harus bertawakal."[4]
Kedua:
membaca dan mengkaji kisah tokoh-tokoh pemberani seperti para sahabat Nabi Saw
seumpama Khalid bin Al-Walid, Al-Bara bin Malik, Nu’man bin Al-Muqarrin dan
lain-lain. Para ulama sahabat dan tabiin selalu menceritakan kepada anak-anak
dan murid-murid mereka kisah-kisah peperangan yang dilakukan Rasulullah Saw dan
para sahabatnya dengan seksama agar menumbuhkan jiwa-jiwa pemberani di diri
anak-anak itu. Pengajaran kisah-kisah peperangan ini mereka jadikan pelajaran
wajib yang menyamai pentingnya pelajaran membaca Al-Qur’an.
Ketiga:
latihan praktik kepemimpinan dalam kelompok yang bertugas menghadapi suatu
masalah sulit dan mencarikan jalan penyelesaiannya. Latihan ini dapat dilakukan
di sekolah, rumah atau masyarakat bahkan di alam terbuka seperti hutan
belantara dan pantai. Kita sering kali melihat di sejarah generasi sahabat
bahwa sejak kecil mereka telah terlatih memanah, berkuda, menggunakan pedang
dan tombak bahkan berenang. Namun latihan ini harus dibimbing oleh seorang
pelatih berpengalaman dan direncanakan dengan sempurna agar berhasil melahirkan
sifat keberanian bukan makin menumbuhkan sifat ketakutan di jiwa murid-murid
itu.
Akhlak
Rasulullah Saw dan Para Sahabat
Rasulullah
Saw merupakan orang yang paling pemberani sebab keimanan beliau tentang qadha
dan qadar berada di tingkat yang paling tinggi. Sayyidina Ali bin Abi Thalib
pernah berkata, “Setiap kali peperangan berkecamuk dan situasi mulai
menakutkan, kami semua berlindung di belakang Nabi Saw. Tidak ada orang yang
lebih dekat dengan musuh daripada beliau.”[5] Anas bin Malik berkata, “Rasulullah Saw
adalah manusia yang paling tampan, paling pemberani dan paling pemurah. Suatu
malam penduduk Madinah dikejutkan oleh sebuah suara (yang menakutkan),
Rasulullah segera keluar mendahului mereka untuk melihatnya.”[6]
Pada
perang Hunain, pasukan kaum muslimin secara tiba-tiba dihujani anak panah dari
berbagai arah sehingga mereka berlarian meninggalkan medan perang. Namun Nabi
Saw tidak gentar, bahkan andai Abu Sufyan bin Al-Harits tidak menahan tali
keledainya, beliau akan maju sendirian menghadapi ribuan musuh yang berada di
depannya. Al-Bara bin Azib ditanya, “Apakah kalian melarikan diri pada perang
Hunain?” Ia menjawab, “Akan tetapi Nabi Saw tidak melarikan diri. Abu Sufyan
bin Al-Harits memegang tali keledai Nabi Saw, dan beliau pada saat itu bersabda,
“Aku Nabi bukan pendusta. Aku anak Abdul muthalib.”[7]
Akhlak Nabi Saw ini sangat berkesan
di hati para sahabatnya sehingga mereka berubah menjadi manusia-manusia yang
penuh dengan keberanian dan berhasil mengalahkan kerajaan Romawi dan Persia
meski hanya dilengkapi
persenjataan yang sangat sederhana Berikut salah satu potret heroistik yang
ditampilkan pasukan mujahidin pada perang Persia. Pada saat itu, pasukan Persia
berada di titik terakhir pertahanan mereka di Nahawand. Pertempuran ini telah menjadi pertempuran hidup mati antara
kekaisaran Persia dengan mujahidin Islam. Yezdager, Kaisar Persia, mengumpulkan
semua kekuatan Persia yang ada di Sind, Khurasan dan Hulwan untuk bergerak ke
Nahwand dan membentuk pertahanan terakhir mereka. Akibatnya terkumpul sekitar
150.000 tentara Persia dengan peralatan perang lengkap untuk menghadapi 30.000
mujahidin yang bahkan tak beralas kaki.
Untuk
menghadapi pasukan yang tiga kali lipat lebih besar dari pasukan muslim ini,
Khalifah Umar bin Khatab berniat menunjuk Nu’man bin Muqarrin sebagai pemegang
komando tertinggi pasukan Islam. Ketika bertemu dengannya setelah shalat
berjamaah, Umar berkata kepada Nu’man, “Saya ingin mengutusmu untuk sebuah
misi.” Nu’man segera menjawab, “Jika untuk mengumpulkan pajak, aku menolak. Namun
jika untuk jihad fi sabilillah, saya siap.” Sungguh tepat pilihan Umar ini.
Nu’man memang sangat berpotensi menjadi penakluk Nahawand. Jiwa jihadnya telah
menjalar ke seluruh sendi-sendi tubuhnya, bahkan telah masuk ke
tulang-belulangnya. Logikanya terbalik dari logika sebagian besar umat Islam
saat ini yang lebih suka duduk di belakang meja sambil memegang pena untuk
mengurus urusan-urusan yang tidak penting. Kalaupun penting, itu karena ia yang
membuatnya terlihat penting.
Sekarang
Nu’man sedang berdiri di depan pasukannya. Ia bertakbir. Setiap tentara
mujahidin segera berwudhu dan bersiap-siap masuk ke pertempuran persis seperti
ketika mereka hendak shalat berjamaah. Ia bertakbir sekali lagi. Setiap pasukan
mengambil senjatanya. Nu’man lalu berdoa dan diamini pasukannya. Ia berkata,
“Ya Allah, bela agama-Mu, tolong hamba-Mu dan jadikan Nu’man orang pertama yang
menjadi syahid. Ya Allah, bahagiakan kami pada hari ini dengan kemenangan.
Ucapkan, amin wahai saudara-saudara.” Semua orang yang hadir di saat itu
menangis. Mereka menangis karena mereka tahu komandan mereka ini doanya selalu
dikabulkan. Mereka menangis karena mereka tahu bahwa ini akan menjadi saat-saat
terakhir mereka melihat pemimpin besar ini.
Terbukti,
doa Nu’man memang mustajab. Pasukan muslimin berhasil mematahkan kekuatan
Persia yang jumlahnya tiga kali lipat dari jumlah mereka. Pasukan Persia kucar
kacir, dan komandannya melarikan diri. Sangat kontras dengan komandan Islami
yang malah meminta untuk mati syahid. Di akhir pertempuran, Ma’qil bin Yasar
melihat Nu’man bin Muqarrin tergeletak di tengah medan pertempuran dengan luka
memenuhi seluruh tubuhnya dan debu menutupi wajahnya. Ma’qil mengusap debu dari
wajah komandan tercinta ini. Nu’man membuka mata dan berkata dengan suara
lemah, “Kamu siapa?” Ma’qil menjawab, “Saya Ma’qil bin Yasar.” Nu’man berkata
lagi, “Bagaimana kondisi pasukan kita?” Ma’qil menjawab, “Allah telah
memberikan kemenangan kepada mereka.” Nu’man berkata, “Alhamdulillah,
beritahukan khalifah Umar.” Setelah itu Nu’man menghembuskan nafasnya yang
terakhir.[8]
[1] Hadits riwayat Al-Bukhari.
[2] “Al-Akhlak Al-Islamiyah wa
Ususuha” 2/586.
[3] “Al-Akhlak Al-Islamiyah wa
Ususuha” 2/586.
[4] Qs. Al-Taubah: 51.
[5] Hadits riwayat Abu Syeikh di
“Akhlaq Al-Nabi”. Al-Iraqi berkata, “Sanadnya sahih. Muslim meriwayatkan hadits
yang mirip dengannya dari Al-Bara.”
[6] Hadits riwayat Al-Bukhari.
[7] Hadits riwayat Al-Bukhari.
[8] Disarikan dari buku
“Nahawand” Dr Syauqi Abu Khalil.
No comments:
Post a Comment